AL-QUR’AN
DAN WAHYU
PENGERTIAN
PROSES PENURUNAN DAN PEMELIHARAANYA
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Qur’an
Dosen:
Prof.Dr.H.Maragustam Siregar,
M.A.
Disusun
oleh: Sunarjo
NIM:
12410136
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
SEMESTER PERTAMA
TA.
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Al-Qur’an bagi
umat islam mempunyai arti yang sangat penting sebagai kitab suci dan
pedoman dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Al-Qur’an perlu
dipahami secara baik agar dapat dihayati dan diamalkan ajarannya.
Dengan memahami
Al-Qur’an nantinya diharapkan akan terbentuk masyarakat yang
menjunjung tinggi ajaran islam sehingga terbentuklah masyarakat islam
yang sebenar-benarnya yang senatiasa mengaktualisasikan segala
aktifitas hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah SWT semata,
tentunya hal tersebut harus dilandasi niat yang ikhlas serta sesuai
tuntunan rasul dan diikuti amal-amal yang saleh. Mempelajari isi
Al-qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan
dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui
hal-hal yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan
keunikan isinya yang menunjukkan
Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.
Tentunya agar
terbentuk manusia yang sesuai dengan ajaran islam dan tidak
ketinggalan zaman,
kita
harus bisa menyaring informasi-informasi tentunya dikembalikan kepada
Al-Qur’an.
Dengan makalah ini
kita akan mengupas mengenai Al-Qur’an dan Wahyu pengertian proses
penurunannya dan pemeliharaannya.
B.
Rumusan Masalah
Pengertian
Al-Qur’an
Pengertian
Wahyu
Perbedaan
Antara Al-Qur’an dan Wahyu
Nama
dan Julukan Al-Qur’an
Proses
Penurunan Al-Qur’an
Sejarah
ilmu-ilmu Al-Qur’an
BAB
II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Al-Qur’an
1.
Pengertian Etimologi (Bahasa)
Para Ulama berbeda
pendapat dalam menjelaskan kata Al-Qur’an: Sebagian dari mereka
berkata bahwa Al-Qur’an merupakan kata jadian dari kata dasar
(membaca). Kata ini kemudian dijadikan sebagai nama bagi firman Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. mereka merujuk firman
Allah:
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah : 17-18)
Sebagian dari mereka
menjelaskan bahwa kata Al-Qur’an merupakan kata sifat dari kata
dasar yang artinya menghimpun. Kemudian dijadikan nama bagi
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang menghimpun
surat, ayat, kisah, perintah, dan larangan. Atau menghimpun intisari
kitab-kitab suci sebelumnya. Sebagian dari mereka mengatakan
bahwa kata Al-Qur’an diambil dari kata kerja (menyertakan),
karena menyertakan surat, ayat, dan huruf-huruf.
Al-Farra’ menjelaskan bahwa kata Al-Qur’an diambil dari kata
(penguat) karena terdiri atas ayat-ayat yang saling menguatkan dan
ada kemiripan satu sama lainnya.
2.
Pengertian Terminologi (Istilah)
a.
Menurut Manna’ Al-Qaththan:
“Kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang membacanya akan
memperoleh pahala.”
b.
Menurut Al-Jurjani:
“Yang diturunkan
kepada Rasulullah SAW, ditulis dalam mushaf, dan diriwayatkan secara
mutawatir tanpa keraguan.”
c.
Menurut Abu Syahbah:
“Kitab Allah yang
diturunkan baik kafadz maupun maknanya kepada Nabi terakhir, Muhammad
SAW. diriwayatkan secara mutawatir, yakni dengan kepastian dan
keyakinan serta ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah
<1> sampai akhir surat An-Nas <114>.”
d.
Menurut kalangan pakar Ushul Fiqh, Fiqh, dan Bahasa Arab:
“Kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad. Lafadz-lafadznya, mengandung
mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, diturunkan secara
mutawatir, dan ditulis pada mushaf. Mulai dari awal surat Al-Fatihah
<1> sampai akhir surat An-Nas <114>”.
B.
Pengertian Wahyu
Wahyu
secara
bahasa artinya adalah pemberitahuan secara rahasia nan cepat. Secara
syar'i, wahyu berarti pemberitahuan dari Allah kepada para nabiNya
dan para rasulNya tentang syari'at atau kitab yang hendak disampaikan
kepada mereka, baik dengan perantara atau tanpa perantara. Wahyu
secara syar'i ini jelas lebih khusus, dibandingkan dengan makna wahyu
secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya, sasarannya maupun
isinya.
Dikatakan wahaitu
ilaih
dan auhaitu,
bila kita berbicara kepadanya agar tidak diketahui orang lain. Wahyu
adalah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan yang
berupa rumus dan lambing, dan terkadang melalui suara semata, dan
terkadang pula melalui isyarat dengan sebagian anggota badan.
Al-wahy atau wahyu
adalah kata masdar (infinitive); dan materi kata itu menunjukkan dua
dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, maka dikatakan
bahwa wahyu ialah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang
khusus ditujukan kepada orang yang diberi tahu tanpa diketahui orang
lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi terkadang juga bahwa yang
dimaksudkan adalah al-muha
yaitu pengertian isim
maf’ul,
yang diwahyukan. Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi:
Ilham
sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa:
“
Dan Kami ilhamkan
kepada Ibu Musa: “Susuilah dia…” (al-Qasas [28]:7)
2.
Yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah
“Dan Tuhanmu telah
mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia’”
(an-Nahl [16]: 68)
3 .Isyarat yang
cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang
diceritakan Qur’an:
“Maka keluarlah
dia dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka: ‘Hendaklah
kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (Maryam [19]: 11)
Bisikan
dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah
dalam diri manusia.
“Sesungguhnya
syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kamu.” (al-An’am [6]: 121)
“Dan demikianlah
Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan
dari jenis manusia dan dari jenis jin; sebagian mereka membisikkan
kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk
menipu manusia.” (al-An’am [6]: 112)
C.
Perbedaan antara Al-Qur’an dan Wahyu
Al-Qur’an hanya
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sedangkan wahyu diturunkan kepada
nabi-nabi dan rasul atau hewan. Wahyu diturunkan bersifat cepat dan
tersembunyi sedang Al Qur’an diturunkan secara bertahap dan para
sahabat nabi bisa mengetahui kalau nabi sedang menerima Kalam Qur’an.
D.
Nama dan Julukan Al-Qur’an
Allah memberi nama
KitabNya dengan Al-Qur’an yang berarti “bacaan”. Arti ini dapat
kita lihat dalam surat (75) Al Qiyaamah; ayat 17-18. Nama ini
dikuatkan oleh ayat-ayat yang terdapat dalam surat Al Israa’ ayat
88; surat Al Baqarah ayat 85; surat Al Hijr ayat 87; surat Thaaha
ayat 2; surat An Naml ayat 6; surat Ahqaaf ayat 29; surat Al Waaqi’ah
ayat 77; surat Al Hasyr ayat 21; surat Addahr ayat 23.
Menurut pengertian
ayat-ayat di atas Al Qur’an itu dipakai sebagai nama bagi Kalam
Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Selain Al Qur’an,
Allah juga memberi beberapa nama lain bagi KitabNya, seperti:
Al
Kitaab atau
Kitaabullah:
merupakan sinonim dari perkataan Al Qur’an , sebagaimana tersebut
dalam surat Al Baqarah ayat 2 yang artinya: “Kitab (AlQur’an)
ini tidak ada keraguan padanya…….”Lihat pula surat Al An’aam
ayat 114.
Al
Furqaan:
“Al Furqaan” artinya : “Pembeda”, ialah “yang membedakn
yang benar dan yang batil”, sebagai tersebut dalam surat Al
Furqaan ayat 1 yang artinya: “Maha Agung (Allah) yang telah
menurunkan Al Furqaan, kepada hambaNya, agar ia menjadi peringatan
kepada seluruh alam”.
Adz-Dzikr:
Artinya: “Peringatan” sebagaimana yang tersebut dalam surat Al
Hijr ayat 9 yang artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan
“Adz-Dzikr” dan sesungguhnya Kamilah penjaganya”. (Lihat pula
surat An Nahl ayat 44).
Dari nama yang empat
tersebut di atas, yang paling masyhur dan merupakan nama khas ialah
“Al Qur’an”.
E. Proses
Penurunan Al-Qur’an
Nabi
Muhammad SAW dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara
dan keadaan, diantaranya:
Malaikat
memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi SAW tidak
ada melihat sesuatu
apapun,
hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya.
Mengatahui
hal
ini nabi mengatakan: “Ruhul qudus mewahyukan ke dalam kalbuku”,
(AsySyura:
51).
Malikat
menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang
mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal
benar akan kata-kata itu.
Wahyu
datang kepadanya seperti gemerincingnya lonceng. Cara inilah yang
amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya
berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin
yang sangat.
Kadang-kadang
unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat,
bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta.
Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: “Aku adalah penulis wahyu yang
diturunkan kepada Rasulullah. Aku melihat Rasulullah ketika turunnya
wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya
bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu,
barulah beliau kembali seperti biasa”.
Malaikat
menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki
seperti no.2, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini
tersebut dalam Al-Qur’an surat An Najm :
13-14.
Sejarah
ilmu-ilmu Al-Qur’an
Sejarah
perkembangan
ilmu-ilmu quran dimulai menjadi beberapa fase, dimana tiap-tiap
fase
menjadi dasar bagi perkembangan menuju fase selanjutnya, hingga
ulumul (ilmu-ilmu) quran menjadi sebuah khusus yang dipelajari
dan dibahas secara khusus pula.
Secara
etimologi,
kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua
kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk
jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang
disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa
ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan
Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun
dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya.
Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an,
ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada
kaitannya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
Ulumul
Qur’an pada Masa Rasulullah SAW
Sumber awal ulumul
quran pada masa ini berupa penafsiran ayat Al-Quran langsung dari
Rasulullah SAW kepada para sahabat,
begitu
pula dengan antusiasime para sahabat dalam bertanya tentang makna
suatu ayat, menghafalkan dan mempelajari hukum-hukumnya.
Rasulullah
SAW menafsirkan kepada sahabat beberapa ayat
Dari
Uqbah bin Amir ia berkata: " aku pernah mendengar Rasulullah SAW
berkata diatas mimbar, "dan siapkan untuk menghadapi mereka
kekuatan yang kamu sanggupi (Anfal :60 ), ingatlah bahwa kekuatan
disini adalah memanah" (HR Muslim).
Antusiasme
sahabat dalam menghafal dan mempelajari Al-Quran
Larangan
Rasulullah SAW untuk menulis selain
qur'an,
sebagai upaya menjaga kemurnian Al Quran.
Dari
Abu Saad al- Khudri, bahwa Rasulullah SAW berkata: “Janganlah kamu
tulis dari aku; barang siapa menuliskan aku selain qur'an, hendaklah
dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan
baginya, dan barang siapa sengaja berdusta atas namaku, ia akan
menempati tempatnya di api neraka."
(HR
Muslim).
Ulumul
Qur’an pada Masa Mutaqaddimin
(Sahabat, Tabi’in)
Al Qur’an
diturunkan dalam bahasa arab, karena itu pada umumnya orang-orang
arab dapat mengerti dan memahami dengan mudah. Dalam pada itu para
sahabat adalah orang-orang yang paling mengerti dan memahami
ayat-ayat Al Qur’an, akan tetapi para sahabat itu sendiri mempunyai
tingkatan yang berbeda-beda dalam memahami Al Qur’an. Hal itu
terutama disebabkan perbedaan tingkatan pengetahuan serta kecerdasan
para sahabat itu sendiri. Sebab-sebab yang lain menyebabkan perbedaan
tingkatan para sahabat dalam memahami Al Qur’an ialah:
Sekalipun para
sahabat orang arab dan berbahasa arab, tetapi pengetahuan mereka
tentang bahasa arab berbeda-beda, seperti pengetahuan para sahabat
tentang sastra arab, gaya bahasa arab, adat istiadat dan sastra
jahiliyah, kata-kata yang terdapat dalam Al Qur’an dan sebagainya,
sehingga tingkatan mereka dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an
berbeda-beda pula.
Ada sahabat yang
sering mendampingi Nabi, sehingga banyak mengetahui sebab ayat-ayat
diturunkan dan ada pula yang jarang mendampingi beliau. Padahal
pengetahuan tentang asbabunnuzul sangat diperlukan untuk menafsirkan
Al Qur’an.
Perbedaan tingkat
pengetahuan para sahabat tentang adat istiadat, perkataan dan
perbuatan arab jahiliyah. Para sahabat yang mengetahui haji di masa
jahiliyah akan dapat lebih memahami ayat Al Qur’an yang
berhubungan dengan haji, dibanding dengan sahabat yang kurang tahu.
Perbedaan tingkat
pengetahuan para sahabat tentang orang yahudi dan nasrani jahiliyah
pada waktu Al Qur’an turun,
baik yang berupa penolakan atau sanggahan terhadap perbuatan orang
yahudi dan nasrani itu, akan lebih dapat memahami ayat tersebut
dibanding yang tidak mengetahui.
Ketika masa
khalifah Utsman dimana orang Arab mulai bergaul dengan orang-orang
non Arab, pada saat itu Utsman memerintahkan supaya kaum muslimin
berpegang pada mushaf induk dan membuat reproduksi menjadi beberapa
buah naskah untuk dikirim ke daerah-daerah. Bersamaan dengan itu ia
memerintahkan supaya membakar semua mushaf lainnya yang ditulis orang
menurut caranya masing-masing. Dan tindakan khalifah tersebut
merupakan perintisan bagi lahirnya suatu ilmu yang kemudian dinamai
“Ilmu Rasmil Qur’an” atau Ilmu
Rasmil Utsmani”
(Ilmu tentang penulisan al-Qur’an).
Pada masa khalifah
Ali, makin bertambah banyak bangsa non Arab yang masuk Islam dan
mereka tidak menguasai bahasa Arab, sehingga bisa terjadi salah
membaca Al-Qur’an, sebab mereka tidak mengerti I’rabnya, padahal
pada waktu tulisan Al-Qur’an belum ada harakatnya, huruf-hurufnya
belum pakai titik dan tanda lainnya. Karena itu khalifah Ali r.a.
memerintahkan Abul
Aswad ad-Duali
(wafat tahun 69 H) supaya meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab guna
menjadi cocok keasliannya. Dengan perintahnya itu berarti pula Ali
bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang meletakkan dasar lahirnya “Ilmu
I’rabil Qur’an”.
Pada abad I dan II H
selain Ustman dan Ali, masih terdapat banyak ulama yang diakui
sebagai perintis lahimya yang kemudian hari dinamai Ilmu Tafsir, Ilmu
Asbab Al-Nuzul, Ilmu Makky wal Madaniy, Ilmu Nasikh wal Mansukh dan
Ilmu Gharibul Qur’an (soal-soal yang memerlukan penta’wilan dan
penggalian maknanya). Para perintis ilmu tepsebut ialah:
Empat orang
khalifah Rasyidun , Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai
bin Ka’ab, Abu Musa Al-Asy-ari dan Abdullah bin Zubair. Mereka itu
adalah kalangan para sahabat Nabi SAW.
Dari kalangan
Tabi’in Yaitu Mujahid, ‘Atha bin Yassir, `Ikrimah, Qatadah,
Hasan Bashri, dan Zaid bin Aslam. Mereka itu Tabi’in di Madinah.
Malik bin Anas dari
kaum Tabi’ut tabi’in (generasi ketiga kaum muslimin). Ia
memperoleh ilmunya dan Zaid bin Aslam.
Pada masa penulisan
Alquran, Ilmu Tafsir berada di atas segala ilmu yang lain, karena ia
dipandang sebagai Ummul Ulumul Qur’aniyah (induk dari ilmu-ilmu
Alquran). Diantara ulama yang menekuni dan menulis buku mengenai ilmu
tersebut pada abad 11 H ialah:
1. Syu’bah bin
Al-Hajjaj
2. Sufyan bin
`Uyaniah
3. Waki’ bin
AI-Jarrah
Kitab-kitab tafsir
yang mereka tulis pada umumnya memuat pendapat-pendapat para sahabat
dan tabi’in. Kemudian menyusul Ibnu Jarir at-Thabari yang wafat
tahun 310 H. Kitabnya merupakan kitab yang paling bermutu, karena
banyak berisi riwayat shaheh ditulis dengan rumusan yang baik.
Kecuali itu juga berisi I’rab (pramasastra), pengkajian dan
pendapat-pendapat yang berharga. Di samping tafsir yang ditulis
menurut apa yang dikatakan oleh orang-orang terdahulu, mulai muncul
tafsir-tafsir yang ditulis orang berdasarkan akal (ra’yu) atau
dengan kata lain muncul tafsir bil-naql dan akal. Ada yang
menafsirkan seluruh isi Al-Qur’an, ada yang menafsirkan sebagian
saja yakni satu juz, ada yang menafsirkan sebuah surat dan ada pula
yang menafsiran hanya satu atau beberapa ayat khusus, seperti
ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum.
Ulumul Qur’an
pada Abad
III H
Pada abad III H
selain Tafsir dan Ilmu Tafsir, papa ulama mulai menyusun pula
bebepapa ilmu A1-Qur’an yaitu .
`Ali bin al-Madani
(w.234 H) menyusun Ilmu Asbab al-Nuzul.
Abu ‘Ubaid
al-Qasim bin Salah (w.224 H) menyusun ilmu Nasikh wal Mansukh dan
Ilmu Qiraat, dan Fadha’ilul Qur’an
Muhammad bin Ayyub
adh-Dharris (w.294 H) menyusun ilmu Makkiy wal Madaniy.
Muhammad bin Khalaf
bin Murzaban (w.309 H) menulis kitab Al-Hawi fi `Ulumul Qur’an.
Ulumul Qur’an
pada Abad
IV H
Pada abad ini telah
disusun Ilmu Gharibul Qur’an dan beberapa kita Ulumul Qur’an
dengan istilah Ulumul Qur’an. Diantaranya:
Abubakar bin Qasim
al-Anbari (w.328 H) menulis buku `Aja’ibul ‘Ulumul Qur’an.
Dalam kitab ini menjelaskan tentang keutamaan dan keistimewaan Al
Qur’an, tentang turunnya Al-Qur’an dalam “tujuh huruf’,
penulisan mushaf, jumlah surah, ayat dan lafaznya.
Abul Hasan
al-`Asy’ari menulis kitab al-Mukhtazan fi Ulumil Qur’ an.
Abubakar
as-Sajistani menulis buku Ilmu Gharibul Qur’an. Dan dia wafat pada
330 H.
Abu Muhammad
al-Qashshab Muhammad ‘Ali al-Kurkhi (W. sekitap tahun 360 H)
menulis kitab yang berjudul Nukatul Qur’an ad-Dallah `Alai Bayan
fi `Anwaa’i1 Ulumi Qal-Ahkam al Munabbi’ah `An Ikhtilafil Anam.
Muhammad bin `Ali
al-Afdawi (w. 388 H) menulis buku yang berjudul A1-Istighna fi
Ulumil Qur’an.
Ulumul Qur’an
pada Abad
V H
Pada V H mulai
disusun Ilmu I’rabil Qur’an dalam satu kitab. Di samping itu
penulisan kitab-kitab dalam Ulumil Qur’an masih terus dilanjutkan
oleh para ulama pada masa ini. Di antara ulama yang berjasa dalam
pengembangan Ulumul Quran ialah:
a. Ali bin Ibrahim
bin Sa’id al-Hufi (w. 430 H) menulis kitab yang berjudul: Al-Burhan
fi Ulumil Alquran dan I’rabul Alquran.
b. Abu `Amr ad-Dani
(w. 444 H) menulis kitab yang berjudul At-Taisir Fil Qira’atis
Sab’i dan Al-Muhkam fin Nuqath.
Khusus kitab
al-Burhan di atas adalah berisi 30 jilid tetapi masih ada dan
tersimpan di Darul Kutub al-Misriyah tinggal 15 jilid dan tidak unit
jilidnya. Kitab ini selain menafsipkan Alquran seluruhnya, juga
menerangkan ilmu-ilmu al-Alquran yang ada hubungannya dengan
ayat-ayat Alquran yang ditafsirkan. Karena itu ilmu-ilmu Alquran
tidak tersusun secara sistematis dalam kitab ini, sebab ilmu-ilmu
al-Alquran diuraikan secara terpencar-pencar, tidak terkumpul dalam
bab-bab menurut judulnya. Namun demikian, kitab ini merupakan karya
ilmiah yang besar.
Ulumul
Qur’an pada
Abad VI H
Pada abad ini di
samping terdapat ulama yang meneruskan pengembangan Ulum Alquran,
juga terdapat ulama yang mulai menyusun Ilmu Mubhamatil Alquran.
Mereka
antara lain:
Abul Qasim
Abdurrahman ysng terkenal dengan nama as-Suhaili (w. 581 H) yang
menulis kitab Mubhamatul Alquran. Isinya berkisar tentang penjelasan
maksud kata-kata dalam Alquran yang tidak jelas atau samar.
Ibnul Jauzi (w. 597
H) menyusun kitab Fununul Afnan 11 `Ajaib Alquran dan AI-Mujtab fi
Ulumin Yata’allaqu bil Alquran.
Ulumul Qur’an
pada
Abad VII H
Pada abad VII H ini,
ilmu-ilum Alquran terus berkembang dengan mulai tersusunnya Ilmu
Majazul Alquran dan tersusun pula Ilmu Qiraat. Diantaranya:
Ibnu Abdus Salam,
yang nama lengkapnya Syaikhul Islam Imam Abu Muhammad Abdul Aziz bin
Abdus Salam, terkenal dengan nama Al-`izz (w 660 H) menyusun kitab
yang berjudul Majazul Alquran.
‘Alamuddin
al-Sakhawi (w. 643 H) yang terkenal dengan nama asSakhawi, yang
menyusun kitab Ilmu Qiraat dalam kitabnya Jamalul Quppa wa Kamalul
Iqra’. Kitab ini bersi tentang berbagi ilmu qiraat, seperti
tajwid, waqaf, dan ibtida (letak bacaan dimulai), nasikh dan
mansukh.
Abu Syamah (w. 665
H) menulis kitab Al-Mursyidul Wajiz fi ma Yata’allaqu bil
Alquranil ‘Aziz.
Ulumul
Qur’an pada
Abad VIII H
Pada abad ini
muncullah beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru tentang
al-Alquran, sedang penulisan tentang kitab-kitab Ulumul Quran masih
tetap beplanjut. Yaitu:
Badruddin
az-Zarkasyi (w. 794 H). ia termasuk ulama ahli tafsir dan ahli
ilmu ushuluddin, lahir 745 H. menyusun kitab dalam empat jilid:
al-Burhan fi Ulumil Alquran. Professor Muhammad Abul Fadhl telah
berjasa dalam usahanya tepsebut.
Ibnu Abil Isba
menyusun kitab Ilmu Badai’ul Alquran (suatu ilmu yang membahas
macam-macam badi’ (keindahan) bahasa dan kandungan Alquran dalam
Alquran.
Ibnul Qayyim (w.
752 H) menusun Ilmu Aqsamil Alquran (suatu ilmu yang membahas
tentang sumpah-sumpah yang terdapat dalam al-Alquran).
Najmuddin al-Thufi
(w. 716 H) menyusun Ilmu Hujajil Alquran atau Ilmu Jadadil Alquran.
Abul Hasan
al-Mawardi menyusun Ilmu Amtsalil Alquran.
Ulumul Qur’an
pada
Abad IXH
Pada abad ini lebih
banyak lagi penulis di antara para ulama sehingga pada abad ini boleh
dikatakan perkembangan Ulumul Quran mencapai kesempurnaannya. Di
antara ulama itu ialah:
a. Jalaluddin
al-Bulqaini (w. 824 H). Dia seorang ulama yang cerdas ahli di bidang
ilmu fiqih, ushuluddin, bahasa Arab, tafsir, ma’ani dan bayan. Ia
menulis kitab Mawaqi’ul Ulum min Mawaqi’in Nujum. Menurut
al-Suyuti memandangnya sebagai pelopor menyusun kitab Ulumul quran
yang lengkap. Sebab di dalamnya telah dapat disusun sejumlah 50 macam
Ilmu Alquran.
b. Muahammad bin
Sulaiman al-Kafiaji (w. 879 H) menyusun kitab Al-Taisir fi Qawaidit
Tafsir.
c. As-Suyuti (w.911
H) menyusun kitab At-Tahbir
fi Ulumit Tafsir.
Penyusunan kitab ini pada tahun 872 H dan merupakan kitab Ulumul
Quran yang paling lengkap karena memuat 102 macam ilmu-ilmu Alquran.
Namun Imam as-Suyuti belum puas atas karya ilmiahnya yang hebat ini,
kemudian menyusun kitab yang berjudul Al-Itqan
fi Ulumil Qur’an (2 juz)
yang membahas sejumlah 80 macam ilmu-ilmu Alquran secara sistematis.
Kitab ini belum ada yang menandingi mutunya dan kitab ini diakui
sebagai kitab standar dalam mata pelajaran Ulumul quran.
Setelah as-Suyuti
wafat pada tahun 911 H, perkembangan ilmu-ilum al-Alquran seolah-olah
telah mencapai puncaknya dan berhenti dengan berhentinya kegiatan
ulama dalam mengembangkan Ulumul Alquran, dan keadaan semacam itu
berjalan sejak wafatnya Imam as-Sayuti sampai akhir abad XIII H.
Ulumul Qur’an
pada
Abad XIV H
Setelah memasuki
abad XIV H ini, maka bangkit kembali perhatian ulama menyusun
kitab-kitab yang membahas al-Alquran dari berbagai segi dan macam
Ilmu al-Alquran, di antara mereka itu ialah:
Thahir al-Jazairi
menyusun kitab Al-Tibyan fi Ulumil Quran yang selesai tahun 1335 H.
Jamaluddin
al-Qasimi (w. 1332 H) menyusun kitab Mahasinut Ta’wil.
Muhammad Abdul
Adzim al-Zarqani menyusun kitab Manahilul Irfan fi Ulumil quran (2
jilid).
Muhammad Ali
Salamah mengarang kitab Manhajul Furqan fi Ulumil quran.
Thanthawi Jauhari
mengarang kitab al-Jawahir fi Tafsir al-Alquran dan Alquran wal
Ulumul Ashriyah.
Muhmmad Shadiq
al-Rafi’i menyusun I’jazul Quran.
Mustafa al-Maraghi
menyusun kitab “Boleh Menterjemahkan al-Alquran”, dan risalah
ini mendapat tanggapan dari para ulama yang pada umumnya
menyetujuinya tetapi ada juga yang menolaknya seperti Musthafa
Shabri seorang ulama besar dari Turki yang mengarang kitab Risalah
Tarjamatil Alquran.
Sayyid Qutub
mengarang kitab al-Tashwitul Fanni fil Alquran dan kitab Fi Dzilalil
quran.
Sayyid Muhammad
Rasid Ridha mengarang kitab Tafsir al-Alquranul Hakim. Kitab ini
selain menafsipkan al-Alquran secara ilmiyah, juga membahas Ulum
Alquran.
DR. Muhammad
Abdullah Darraz, seorang Guru Besar al-Azhar university yang
diperbantukan di Perancis mengarang kitab al-Naba’al `Adzim,
Nadzarratun Jadidah fil Alquran.
Malik bin Nabiy
mengarang kitab al-Dzahiratul Alquraniyyah. Kitab ini membicarakan
masalah wahyu dengan pembahasan yang sangat berharga.
Muhammad al-Ghazali
mengarang kitab Nadzaratun fil Alquran.
Dr. Shubhi
al-Salih, Guru Besar Islamic Studies dan Fiqhul Lughah pada Fakultas
Adab Universitas Libanon mengarang kitab Mahabits fi Ulumil Alquran.
Kitab ini selain membahas Ulumul Alquran, juga menanggapi dan
membantah secara ilmiyah pendapat-pendapat opientalis yang dipandang
salah mengenai berbagai masalah yang bephubungan dengan al-Alquran
Muhammad
al-Mubarak, Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Syria, mengarang
kitab al-Manhalul Khalid.
Lahirnya istilah
Ulumul Alquran sebagai salah satu ilmu yang lengkap dan menyeluruh
tentang Alquran, menurut para penulis Sejarah Ulumul Alquran pada
umumnya berpendapat lahir sebagai suatu ilmu abad VII H. sedang
menurut alZarqani istilah itu lahir pada abad V H oleh al-Hufi dalam
kitabnya al-Burhan fi Ulumil Alquran. Kemudian pendapat tersebut
dikoreksi oleh Shubhi al-Shalih, bahwa istilah Ulum Alquran sebagai
suatu ilmu sudah ada pada abad III H oleh Ibnu Marzuban (w. 309 H)
dalam kitabnya al-Hawi fi Ulumil Qur’an. Dari berbagai pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah Ulumul Alquran sebagai suatu
ilmu telah dirintis oleh Ibnu Marzuban (w. 309 H) pada abad III H.
Kemudian diikuti oleh al-Huff (w. 430 H) pada abad V H. Kemudian
dikembangkan oleh Ibnul Jauzi (w. 597 H) pada abad VI H. Kemudian
ditepuskan oleh al-Sakhawi (w. 643 H) pada abad VII H. Kemudian
disempurnakan oleh alZarkasyi (w.794 H) pada abad VIII H. Kemudian
ditingkatkan lagi oleh al-Bulqini (w.824 H) dan al-Kafyaji (w.879 H)
pada abad IX H. Dan akhirnya disempumakan lagi oleh al-Suyuti pada
akhir abad IX dan awal abad X H. Pada pepiode tepakhir inilah sebagai
puncak karya ilmiyah seopang ulama dalam bidang Ulum Alquran, sebab
setelah al-Suyuti maka berhentilah kemajuan Ulumul Quran sampai akhir
abad XIII H.
Namun pada abad XIV
H sampai sekarang ini mulai bangkit kembali aktifitas para ulama dan
sarjana Islam untuk menyusun kitab-kitab tentang Alquran, baik yang
membahas ulumul Quran maupun yang membahas salah satu cabang dari
Ulum Quran.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di
atas, dapat kita simpulkan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril as yang
ditulis dalam bentuk mushaf yang diturunkan secara mutawatir yang
diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas yang
membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah. Wahyu adalah
pemberitahuan
dari Allah kepada para nabiNya dan para rasulNya tentang syari'at
atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka, baik dengan
perantara atau tanpa perantara.
Perbedaan Al-Qur’an
dan Wahyu adalah Al-Qur’an hanya diturunkan kepada nabi Muhammad
SAW sedangkan wahyu diturunkan kepada nabi-nabi dan rasul atau hewan.
Wahyu diturunkan bersifat cepat dan tersembunyi sedang Al Qur’an
diturunkan secara bertahap dan para sahabat nabi bisa mengetahui
kalau nabi sedang menerima Kalam Qur’an.
Nama dan Julukan
Al-Qur’an antara lain: Al-Qur’an
(bacaan),
Adz-Dzikr
(peringatan),
Al-Kitab
(buku),
Al-Furqan
(pembeda).
Proses Penurunan
Al-Qur’an:
Malaikat memasukkan
wahyu itu ke dalam hatinya
Malaikat menampakkan
dirinya kepada Nabi
Wahyu datang
kepadanya seperti gemerincingnya lonceng
Malaikat menampakkan
dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapakan
kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan
kata-kata itu.
Pengertian
ilmu-ilmu Al-Qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang
berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai
Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan
petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai
aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an.
DAFTAR
PUSTAKA
http//google/Makalah-Pembahasan-Al-Qur'an-dan-Wahyu-Al-Qur'an–dan-Perkembangannya(Mata
Kuliah
'Ulumul Qur'an dan Hadits) .html
Disarikan
dari H.A.
Athaillah, 2010.
Sejarah
Al-Qur’an,
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Departemen
Agama RI, 1992. Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Bandung:
Gema Risalah Press
Qaththan,Manna
al-,2000.Mabahits
fi Ulum al-Qur’an,
Riyad:
Mansyurah
al-Ashar al-Hadis, , tt.
Zuhdi,Masjfuk,
1993.Pengantar
Ulumul Qur’an, Surabaya:
PT
Bina
Ilmu
http://vhocket.wordpress.com/2011/10/12/upaya-pemeliharaan-otentisitas-al-quran-pada-masa-rasulullah/
http://maragustamsiregar.wordpress.com/2011/01/05/perkembangan-ilmu-ilmu-alquran-oleh-h-maragustam-siregar-prof-dr-m-a/html